Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu belajar. Untuk itulah Tiongkok mempersiapkan acara peringatan 73 tahun pembantaian Nanjing, yang
diperkirakan telah menewaskan 300.000 penduduk Nanjing. Pembantaian
dilakukan oleh pasukan Jepang yang memasuki dan menguasai Kota Nanjing pada
13 Desember 1937.
Pada saat itu, Nanjing adalah ibu kota Tiongkok. Begitu menduduki Nanjing,
tentara Jepang pun melakukan pesta kekerasan dengan memperkosa, membunuh,
menjarah dan menyiksa penduduk Nanjing.
Pembantaian Nanjing melambangkan agresi Jepang ke Tiongkok dalam Perang
Dunia II.
Kendati peristiwa itu berlangsung 73 tahun silam, tetapi rakyat masih
mengingat jelas aksi-aksi berdarah tentara Jepang itu. Bagi Tiongkok,
sejarah adalah penuntun masa depan. Ingatan akan pembantaian Nanjing terus
melekat berkat riset yang terus-menerus untuk menyingkap berbagai peristiwa
pada masa itu.
Salah satu acara adalah pembukaan kembali Balai Peringatan yang berisi
detail peristiwa Nanjing. Balai itu ditutup selama dua tahun untuk renovasi.
Sebuah monumen juga dibangun untuk memperingati sebuah insiden yang
menewaskan 1.300 warga selama pendudukan Nanjing. Kisah itu mencuat karena
peneliti Jepang membujuk para mantan Tentara Kerajaan Jepang untuk
mengungkap kisah-kisah mereka dan membukukannya.
Penuturan-penuturan seperti itu memungkinkan ingatan kolektif pada sebuah
peristiwa diketahui oleh generasi baru Tiongkok. Generasi muda pun dapat
belajar dari peristiwa itu.
Direktur pusat riset yang mengkhususkan diri pada kajian perbudakan seksual
di Universitas Normal Shanghai, Sun Zhiliang, berpendapat peristiwa Nanjing
perlu dikenang tanpa mengesampingkan hubungan Tiongkok-Jepang.
"Tidak berarti hubungan kedua negara tidak bisa dikembangkan," jelas Sun
yang berencana mengunjungi tugu peringatan bersama tamu-tamunya dari Jepang.
Menghangatnya hubungan antara kedua negara akhir-akhir ini membuat Beijing
lebih berhati-hati dan berusaha meletakkan peristiwa Nanjing dalam
konteksnya. "Mengenang sejarah adalah menghargai momentum perbaikan hubungan
guna mewujudkan masa depan yang lebih baik," komentar Menteri Luar Negeri
Tiongkok Qin Gang.
Banyak kalangan di Tiongkok merasa Jepang perlu menyatakan maaf atas agresi
dan kekejamannya, tetapi Tiongkok berusaha melakukan pendekatan yang
bijaksana pada peristiwa-peristiwa yang kelam. Peneliti di Shanghai, Wang
Xuan, yang meriset bagaimana Jepang menggunakan zat-zat biologi terhadap
penduduk di negerinya, berpendapat kecenderungannya kini adalah menuju
hubungan yang lebih stabil.
"Memperingati pembantaian yang mengerikan dan mengembangkan hubungan kedua
negara adalah dua hal yang berbeda," ujarnya.
Dengan mengengenal sejarah bangsanya maka generasi muda Tiongkok sadar bahwa sekiranya mereka menjadi bangsa yang lemah maka peristiwa Nanjing dapat terjadi di jaman mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar